Beranda | Artikel
Panduan Ringkas Idul Fitri
Selasa, 1 April 2014

Larangan Berpuasa di Hari Raya

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa pada dua hari: hari Idul Fitri dan Idul Adha. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Imam An-Nawawi mengatakan, “Para ulama telah sepakat tentang haramnya puasa di dua hari ini, sama sekali. Baik puasanya itu puasa nadzar, puasa sunnah, puasa kaffarah, atau puasa yang lainnya.” (Syarah Shahih Muslim karya An-Nawawi: 8/15)

Hukum Shalat Id

Hukum shalat id wajib bagi setiap muslim. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim. Dalil pendapat ini adalah sebagai berikut:

  1. Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melaksanakannya, karena sejak shalat id ini disyariatkan pada tahun kedua hijriyah, beliau senantiasa melaksanakannya sampai beliau meninggal.
  2. Kebiasaan para Khulafaur Rasyidin setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa kuatnya syariat ini dalam Islam.
  3. Hadits Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha, bahwa beliau mengatakan, “Kami diperintahkan untuk mengajak keluar gadis yang baru baligh, gadis-gadis pingitan, dan orang-orang haid untuk menghadiri shalat Idul Fitri dan Idul Adha….” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Keterangan: Hukum asal perintah adalah wajib.
  4. Shalat id merupakan salah satu syiar Islam yang paling menonjol.

Adab Shalat Id

1. Mandi pada hari id.

Dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mandi pada hari Idul Fitri sebelum berangkat ke lapangan. (HR. Malik dan Asy-Syafi’i; sanadnya shahih)

Al-Faryabi menyebutkan bahwa Said bin Al-Musayyib mengatakan, “Sunnah ketika Idul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan, makan sebelum keluar (menuju lapangan), dan mandi.” (Ahkamul ‘Idain karya Al-Faryabi; sanadnya dishahihkan Al-Albani)

Catatan: Dibolehkan untuk memulai mandi hari raya sebelum atau sesudah subuh. Ini adalah pendapat yang kuat dalam Mazhab Syafi’iyyah dan pendapat yang dinukil dari Imam Ahmad. Allahu a’lam.

2. Berhias dan memakai wewangian.

Dari Ibnu Abbas, bahwa pada suatu saat di hari Jumat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hari ini adalah hari raya yang Allah jadikan untuk kaum muslimin. Barangsiapa yang hadir jumatan, hendaknya dia mandi. Jika dia punya wewangian, hendaknya dia gunakan, dan kalian harus menggosok gigi.” (HR. Ibnu Majah; dihasankan Al-Albani)

3. Memakai pakaian yang paling bagus.

Dari Jabir bin Abdillah, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki jubah yang beliau gunakan ketika hari raya dan hari Jumat.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan kitab Shahihnya)

Dari Ibnu Umar, beliau mengatakan, “Umar bin Khathab pernah mengambil jubah dari sutra yang dibeli di pasar, kemudian dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, saya membeli ini sehingga engkau bisa berhias dengannya ketika hari raya dan ketika menyambut tamu.’ Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya karena baju itu terbuat dari sutra.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan An-Nasa’i)

Imam As-Sindi mengatakan, “Dari hadits disimpulkan bahwa berhias ketika hari raya merupakan kebiasaan yang mengakar di kalangan mereka (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat), dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, yang artinya kebiasaan itu tetap belaku….” (Hasyiah As-Sindy ‘ala An-Nasa’i: 3/181)

4. Makan sebelum berangkat shalat Idul Fitri dengan beberapa kurma.

Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan, “Setiap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak berangkat shalat Idul Fitri, beliau makan beberapa kurma, dan beliau makan dengan jumlah ganjil.” (HR. Al-Bukhari)

Dari Buraidah, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat menuju shalat Idul Fitri sampai beliau makan terlebih dahulu. Ketika Idul Adha, beliau tidak makan sampai shalat dahulu.” (HR. At-Turmudzi dan Ibnu Majah; dishahihkan Al-Albani)

5. Menuju lapangan sambil berjalan dengan penuh ketenangan dan ketundukan.

Dari Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan dengan berjalan kaki, dan beliau pulang juga dengan berjalan. (HR. Ibnu Majah; dishahihkan Al-Albani)

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Termasuk sunnah: keluar menuju lapangan dengan jalan kaki dan makan sebelum berangkat (Idul Fitri).” (HR. At-Turmudzi dan Ibnu Majah; dishahihkan Al-Albani)

Waktu Shalat Id

Dari Yazin bin Khumair, beliau mengatakan, “Suatu ketika Abdullah bin Busr, salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluar bersama masyarakat menuju lapangan shalat id, kemudian beliau mengingkari keterlambatan imam. Beliau mengatakan, ‘Kami dulu telah selesai dari kegiatan ini (shalat id) pada waktu shalat sunnah sudah dibolehkan.’” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dan Abu Daud dengan sanad shahih)

Keterangan: Maksud “waktu saat shalat sunnah sudah dibolehkan” adalah setelah berlalunya waktu larangan untuk shalat, yaitu ketika matahari terbit.

Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Beliau mengakhirkan shalat Idul Fitri dan menyegerakan shalat Idul Adha. Ibnu Umar –orang yang sangat antusias mengikuti sunnah– tidak keluar menuju lapangan sampai matahari terbit. Beliau melantunkan takbir sejak dari rumah sampai tiba di lapangan.” (Zadul Ma’ad: 1/425)

Syekh Abu Bakar Al-Jazairi mengatakan, “Waktu mulainya shalat id adalah sejak matahari naik setinggi tombak sampai tergelincir. Namun yang lebih utama adalah shalat Idul Adha dilaksanakan di awal waktu sehingga memungkinkan bagi masyarakat menyelesaikan sembelihannya, dan mengakhirkan pelaksanaan shalat Idul Fitri sehingga memungkinkan bagi masyarakat untuk membagikan zakat fitrinya.” (Minhajul Muslim, hlm. 278)

Catatan:
Jika penetapan tanggal 1 Syawal baru diketahui setelah tergelincirnya matahari maka boleh berbuka, dan shalat id-nya dilaksanakan besok pagi. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Umair bin Anas, bahwa paman-pamannya –termasuk sahabat– menceritakan, “Suatu ketika hilal Syawal tertutupi, sehingga besoknya kami berpuasa. Tiba-tiba datanglah sekelompok kafilah dari perjalanan di sore hari dan bersaksi bahwa mereka melihat hilal kemarin sore. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar para sahabat berbuka dan melaksanakan shalat id besok pagi.” (HR. An-Nasa’i dan Abu Daud; dishahihkan Al-Albani)

Tempat Pelaksanaan Shalat Id

1. Ketika di Mekkah

Tempat pelaksanaan shalat id di Mekkah yang paling afdhal adalah di Masjidil Haram karena semua ulama senantiasa melaksanakan shalat id di Masjidil Haram ketika di Mekkah.

Imam An-Nawawi mengatakan, “…Ketika di Mekkah, maka Masjidil Haram paling afdhal (untuk tempat shalat id), tanpa ada perselisihan di kalangan ulama.” (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab: 5/524)

2. Di luar Mekkah

Tempat shalat id yang sesuai sunnah adalah lapangan, kecuali jika ada halangan, seperti hujan atau halangan lainnya.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan ketika Idul Fitri dan Idul Adha. Yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat id. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ibnul Haj Al-Makki mengatakan, “…Sunnah yang berlaku sejak dulu terkait shalat id adalah dilaksanakan di lapangan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Shalat di mesjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada seribu kali shalat di selain mesjidku, kecuali Masjidil Haram.’ Meskipun memiliki keutamaan yang sangat besar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap keluar menuju lapangan dan meninggalkan mesjid.” (Al-Madkhal: 2/438)

Catatan:
Dianjurkan bagi imam untuk menunjuk salah seorang agar menjadi imam shalat id di mesjid bagi orang yang lemah (tidak mampu keluar menuju lapangan), sebagaimana yang dilakukan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah.

Adab Ketika Menuju Lapangan

1. Berangkat dan pulangnya mengambil jalan yang berbeda.

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hari raya mengambil jalan yang berbeda (ketika berangkat dan pulang). (HR. Al-Bukhari)

2. Dianjurkan bagi makmum untuk datang di lapangan lebih awal. Adapun imam, dianjurkan untuk datang agak akhir sampai waktu shalat dimulai, karena imam itu ditunggu bukan menunggu. Demikianlah yang terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat.

3. Bertakbir sejak dari rumah hingga tiba di lapangan.

Termasuk sunnah, bertakbir di jalan menuju lapangan dengan mengangkat suara. Adapun para wanita maka dianjurkan tidak mengeraskannya, sehingga tidak didengar laki-laki.

Dari Ibnu Abi Dzi’bin dari Az-Zuhri, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat shalat Idul Fitri dan beliau bertakbir sampai tiba di lapangan. Setelah selesai shalat, beliau memutus takbir. (HR. Ibnu Abi Syaibah; dishahihkan Al-Albani)

Riwayat yang shahih dari Ibnu Umar, bahwa beliau mengeraskan bacaan takbir pada saat Idul Fitri dan Idul Adha ketika menuju lapangan, sampai imam datang. (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Faryabi; dishahihkan Al-Albani)

Riwayat dari Muhammad bin Ibrahim, bahwa Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu berangkat shalat id dan beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. (HR. Al-Faryabi dalam Ahkamul ‘Idain)

4. Tidak boleh membawa senjata, kecuali terpaksa.

Dari Said bin Jubair, beliau mengatakan, “Kami bersama Ibnu Umar. Tiba-tiba dia terkena ujung tombak di bagian telapak kakinya, maka aku pun turun dari kendaraan dan banyak orang menjenguknya. Ada orang yang bertanya, ‘Bolehkah kami tahu, siapa yang melukaimu?’ Ibnu Umar menunjuk orang itu, ‘Kamu yang melukaiku, karena kamu membawa di hari yang tidak boleh membawa senjata….’” (HR. Al-Bukhari)

Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, “Mereka dilarang untuk membawa senjata di hari raya, kecuali jika mereka takut ada musuh.” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq)

Wanita Berangkat ke Lapangan

Disyariatkan bagi wanita untuk berangkat menuju lapangan ketika hari raya dengan memperhatikan adab-adab berikut:

1. Memakai jilbab sempurna (hijab).

Dari Ummu Athiyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Kami diperintahkan untuk mengajak keluar gadis yang baru baligh, gadis-gadis pingitan, dan orang-orang haid untuk menghadiri shalat Idul Fitri dan Idul Adha…. Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, ada yang tidak memiliki jilbab.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaknya saudarinya meminjamkan jilbabnya.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Tidak memakai minyak wangi dan pakaian yang mengundang perhatian.

Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian melarang para wanita untuk ke mesjid, dan hendaknya mereka keluar dalam keadaan tafilat.” (HR. Ahmad dan Abu daud; dishahihkan Al-Albani)

Keterangan: Makna “tafilat” adalah tidak memakai winyak wangi dan tidak menampakkan aurat.

3. Tidak boleh bercampur dengan laki-laki.

Ummu Athiyah mengatakan, “Hendaknya mereka berjalan di belakang laki-laki dan bertakbir bersama mereka.” (HR. Muslim)

Apabila Hari Raya Bertepatan dengan Hari Jumat.

Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat maka kaum lelaki diberi keringanan untuk tidak menghadiri shalat jumat.

Dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertanya kepada Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, “Apakah kamu pernah mengalami hari raya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertepatan dengan hari Jumat?” Zaid menjawab, “Ya.” Mu’awiyah bertanya, “Apa yang beliau lakukan?” Zaid menjawab, “Beliau shalat id dan memberi keringanan untuk tidak hadir shalat jumat. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang ingin shalat jumat, silakan shalat jumat.” (HR. Abu Daud; dishahihkan Al-Albani)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Telah terkumpul di hari kalian ini dua hari raya. Barangsiapa yang ingin meninggalkan jumatan maka shalat id ini telah cukup baginya untuk meninggalkan shalat jumat. Namun kami akan melaksanakan shalat jumat.” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i; dishahihkan Al-Albani)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa suatu ketika terkumpul dua hari raya (dalam sehari) di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau mengimami masyarakat dan bersabda, “Barangsiapa yang ingin mendatangi shalat jumat maka silakan datang, dan barangsiapa yang ingin tidak shalat jumat silakan tidak shalat jumat.” (HR. Ibnu Majah; dishahihkan Al-Albani)

Keterangan:

  1. Yang dimaksud “dua hari raya” pada hadits-hadits di atas adalah hari raya Idul Adha dan hari Jumat.
  2. Keringanan meninggalkan shalat jumat hanya khusus untuk orang yang sudah melaksanakan shalat id. Adapun bagi yang tidak melaksanakan shalat id, dia wajib mengikuti shalat jumat. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits dari Mu’awiyah dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma.
  3. Bagi orang yang tidak melaksanakan shalat jumat, maka wajib baginya melaksanakan shalat zuhur empat rakaat, karena shalat zuhur adalah kewajiban asal ketika tidak shalat jumat.
  4. Imam Ibnu Qudamah mengatakan, “Bagi petugas shalat jumat (yaitu khatib dan muazin), kewajiban shalat jumatnya tidak gugur, menurut pendapat yang benar. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Namun kami akan melaksanakan jumatan.” Jika khatib dan petugas jumatan tidak datang, ini akan menghalangi orang lain yang wajib mengikuti jumatan (mendengarkan khutbah jumat dan mendirikan shalat jumat) untuk melaksanakan jumatan, berbeda dengan masyarakat umum yang boleh tidak jumatan.” (Al-Mughni: 2/212, Ibnu Qudamah)

***

Artikel www.PengusahaMuslim.com

Artikel ini dikutip dari konten aplikasi iPhone Resala Eid yang diproduksi oleh tim Yufid. Panduan lengkap Resala Eid (Idul Fitri, Idul Adha, Zakat Fitri, panduan qurban) dapat Anda download dan baca di iPhone/iPod Touch Anda pada link ini: http://itunes.apple.com/id/app/resala-eid/id389735327?mt=8


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/1949-panduan-ringkas-idul-fitri.html